Istri Menggugat Cerai: Tahapan Perceraian dan Dinamika Emosional di Balik Proses Hukum*
Jakarta - Pojok Jurnal com [ Minggu,28 Des 2025. Dalam cerai gugat, pengadilan juga mempertimbangkan hak-hak istri pasca perceraian, seperti nafkah iddah, mut’ah, serta hak asuh anak.
Pendahuluan
Perceraian bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan juga kisah tentang relasi, harapan, dan keputusan besar yang diambil setelah perjalanan rumah tangga yang tidak mudah.
Di balik putusan pengadilan, terdapat proses batin yang panjang dan sering kali penuh pergulatan.
Saat istri memilih mengajukan gugatan cerai, keputusan tersebut umumnya bukan diambil secara spontan. Ada fase refleksi, upaya bertahan, dan pertimbangan masa depan, baik bagi dirinya maupun bagi anak-anak.
Artikel ini, mengulas tahapan perceraian apabila istri yang mengajukan gugatan, dengan pendekatan naratif agar mudah dipahami dan relevan dengan realitas kehidupan masyarakat.
Pembahasan
Dalam sistem hukum Indonesia, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Apabila istri yang mengajukan perceraian, perkara tersebut dikenal sebagai cerai gugat.
Cerai gugat diajukan ke Pengadilan Agama bagi pasangan beragama Islam, atau ke Pengadilan Negeri bagi pasangan beragama selain Islam. Ketentuan ini menegaskan bahwa perceraian bukan keputusan sepihak yang berdiri di luar mekanisme hukum.
Tahapan cerai gugat dimulai dari penyusunan dan pendaftaran gugatan. Istri sebagai penggugat menyampaikan alasan-alasan perceraian yang menurut hukum dapat dibenarkan, seperti perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus, tidak adanya keharmonisan, atau kondisi lain yang membuat tujuan perkawinan tidak tercapai.
Gugatan ini, sering kali mencerminkan ringkasan perjalanan rumah tangga yang telah kehilangan titik temu.
Setelah gugatan terdaftar, pengadilan memanggil para pihak untuk menghadiri sidang pertama. Tahap ini diawali dengan upaya mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
Dalam ruang mediasi, hakim mediator atau mediator non hakim berupaya membuka ruang dialog dan rekonsiliasi. Tidak sedikit pasangan yang menemukan kembali harapan pada tahap ini, namun dalam banyak perkara, mediasi gagal karena konflik telah berlangsung terlalu lama.
Apabila mediasi tidak berhasil, perkara dilanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara. Istri sebagai penggugat menyampaikan dalil-dalil gugatannya, sementara suami sebagai tergugat memberikan jawaban.
Fase ini, sering kali menjadi tahap paling emosional, karena fakta-fakta rumah tangga dibuka dan diuji di ruang sidang.
Tahapan berikutnya adalah pembuktian. Para pihak dapat mengajukan alat bukti berupa surat, keterangan saksi, maupun bukti lain yang relevan. Hakim tidak hanya menilai kebenaran formal, tetapi juga menggali apakah rumah tangga tersebut masih memiliki peluang untuk dipertahankan atau memang telah berada pada titik akhir.
Dalam cerai gugat, pengadilan juga mempertimbangkan hak-hak istri pasca perceraian, seperti nafkah iddah, mut’ah, serta hak asuh anak. Penilaian hakim terhadap tuntutan tersebut dilakukan secara proporsional dengan memperhatikan kemampuan ekonomi suami, kontribusi istri dalam rumah tangga, serta prinsip keadilan.
Perceraian membawa implikasi besar bagi anak. Oleh karena itu, kepentingan terbaik anak menjadi prinsip utama dalam setiap putusan. Hakim mempertimbangkan stabilitas emosional anak, lingkungan pengasuhan, serta kemampuan orang tua dalam memberikan perhatian dan perlindungan yang berkelanjutan. Dalam kondisi tertentu, pendapat anak dan keterangan ahli psikologi dapat dijadikan bahan pertimbangan.
Dalam konteks sosial modern, cerai gugat semakin dipahami sebagai pilihan sadar ketika perkawinan tidak lagi mampu memberikan ruang aman dan bermartabat bagi salah satu pihak.
Perubahan cara pandang dimaksud, menunjukkan bahwa hukum keluarga tidak terlepas dari dinamika nilai-nilai sosial yang berkembang di masyarakat.
Dalam perspektif hukum keluarga, perceraian sejatinya diposisikan sebagai jalan terakhir yang ditempuh ketika seluruh upaya mempertahankan rumah tangga tidak lagi membuahkan hasil.
Hukum tidak mendorong perceraian, tetapi menyediakan mekanisme yang tertib dan berkeadilan untuk mengakhiri perkawinan yang sudah tidak lagi sehat. Melalui proses peradilan, negara hadir untuk mencegah konflik berkepanjangan yang justru dapat menimbulkan kerugian lebih besar, baik secara emosional maupun sosial.
Pendekatan tersebut, menegaskan bahwa perceraian bukanlah kegagalan moral, melainkan respons hukum atas realitas kehidupan yang kompleks. Dengan pengaturan yang jelas, hukum keluarga berupaya menjaga martabat para pihak, melindungi kepentingan anak, serta memastikan bahwa perpisahan dilakukan secara bertanggung jawab dan manusiawi.
Peran hakim dalam perkara perceraian menjadi sangat strategis. Hakim tidak hanya berfungsi sebagai penerap norma hukum, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Sensitivitas, empati, serta kebijaksanaan hakim sangat dibutuhkan agar putusan yang dijatuhkan tidak menambah luka bagi para pihak.
Dalam perkara yang melibatkan figur publik, sorotan media sering kali menambah tekanan psikologis. Namun pengadilan tetap harus menjaga independensi dan objektivitas. Popularitas para pihak tidak menjadi dasar pertimbangan hakim. Hal yang dinilai adalah fakta persidangan dan ketentuan hukum yang berlaku.
Penutup
Tahapan perceraian apabila istri yang mengajukan gugatan menunjukkan bahwa hukum keluarga berjalan seiring dengan dinamika kehidupan manusia. Proses cerai gugat memberi ruang bagi pengadilan untuk menghadirkan keadilan yang bermartabat bagi para pihak.
Dengan pemahaman yang utuh mengenai tahapan perceraian, masyarakat diharapkan dapat melihat perceraian bukan sekadar sensasi, tetapi sebagai proses hukum yang bertujuan melindungi hak, martabat, dan masa depan setiap pihak yang terlibat.
Red: Bahrudin
Sumber:Humas MA Jakarta
Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2018.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991).
Penulis: Nur Amalia Abbas

Posting Komentar