LSM KPK Nusantara dan PPWI Banten Soroti Surat Somasi BCA Finance, Diduga Abaikan UU Perlindungan Konsumen
Serang, Banten – Pojok Jurnal com [Selasa 23 Desember 2025
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) KPK Nusantara bersama Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Provinsi Banten menyoroti keras surat somasi yang dikeluarkan oleh BCA Finance, yang dinilai berpotensi mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sorotan tersebut disampaikan menyusul terbitnya Surat Nomor: 826/SOM-ASR-CLG L/XII/2025 perihal Somasi (Teguran atau Peringatan Hukum) yang ditandatangani oleh Riza Aulia Kirana. Surat tersebut dinilai tidak mempertimbangkan secara utuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait eksekusi jaminan fidusia.
Ade Bahawi, perwakilan dari LSM KPK Nusantara, menegaskan bahwa dalam praktik penagihan dan eksekusi jaminan fidusia, perusahaan pembiayaan wajib mematuhi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan 71/PUU-XIX/2021. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa kreditur tidak dapat secara sepihak melakukan penarikan paksa terhadap objek jaminan fidusia, seperti kendaraan bermotor, apabila debitur menyatakan keberatan atau terjadi sengketa mengenai wanprestasi.
“Jika debitur menolak atau tidak mengakui adanya wanprestasi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan sepihak. Kreditur wajib mengajukan permohonan penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri atau melalui mekanisme lelang eksekusi di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL),” ujar Ade Bahawi.
Ia menambahkan, ketentuan tersebut merupakan bagian dari perlindungan hak milik warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan hak atas kepastian hukum dan perlakuan yang adil.
Namun demikian, kreditur masih dimungkinkan melakukan eksekusi langsung terhadap objek jaminan fidusia, hanya apabila terdapat kesepakatan antara kreditur dan debitur bahwa telah terjadi wanprestasi, serta debitur secara sukarela menyerahkan objek jaminan tanpa paksaan.
Sementara itu, Ketua DPD PPWI Provinsi Banten, Abdul Kabir Albantani, menekankan bahwa persoalan ini tidak hanya berkaitan dengan hukum fidusia, tetapi juga menyangkut aspek perlindungan konsumen secara luas. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai payung hukum utama yang menjamin hak-hak debitur sebagai konsumen jasa keuangan.
“UUPK secara jelas memberikan hak kepada konsumen atas informasi yang benar, pelayanan yang jujur dan adil, serta perlindungan dari klausul baku yang merugikan. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Perbankan dan regulasi Otoritas Jasa Keuangan,” kata Abdul Kabir.
Selain UUPK, Abdul Kabir juga mengacu pada:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang mengatur kewajiban bank dan lembaga keuangan untuk beritikad baik dalam memberikan layanan kepada nasabah.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), yang memperluas kewenangan OJK dalam pengawasan dan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
POJK Nomor 22/POJK.07/2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat Sektor Jasa Keuangan, yang mengatur secara teknis hak dan kewajiban pelaku usaha jasa keuangan (PUJK), termasuk mekanisme pengaduan dan sanksi.
Menurutnya, debitur memiliki sejumlah hak fundamental yang wajib dihormati oleh lembaga pembiayaan, di antaranya:
1. Hak atas informasi, yakni memperoleh penjelasan yang benar, jelas, dan jujur terkait produk kredit.
2. Hak atas pelayanan, berupa perlakuan yang adil, tidak diskriminatif, dan beritikad baik.
3. Hak atas perlindungan dari klausul baku, terutama klausul yang sulit dipahami, menyesatkan, atau mengalihkan tanggung jawab sepihak kepada konsumen.
4. Hak atas penyelesaian sengketa, baik melalui jalur non-litigasi seperti Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK), maupun melalui pengadilan.
Lebih lanjut, Abdul Kabir menyoroti kewajiban lembaga keuangan dalam menangani debitur bermasalah atau kredit macet. Ia menegaskan bahwa sebelum melakukan langkah eksekusi, bank atau perusahaan pembiayaan wajib mengedepankan upaya restrukturisasi kredit, terutama jika debitur mengalami musibah atau penurunan kemampuan usaha.
Bentuk restrukturisasi tersebut meliputi:
Rescheduling, yaitu penjadwalan ulang pembayaran utang dengan mengubah tenor atau besaran angsuran agar sesuai kemampuan debitur.
Reconditioning, yakni penyesuaian kembali syarat kredit seperti bunga, denda, atau biaya tanpa mengubah pokok utang, misalnya penurunan suku bunga atau penundaan pembayaran bunga.
Restrukturisasi, yaitu proses penataan ulang kredit secara menyeluruh, baik terhadap pokok, bunga, maupun jangka waktu, berdasarkan kesepakatan bersama antara debitur dan kreditur.
“Langkah-langkah ini seharusnya menjadi prioritas, bukan langsung mengedepankan somasi atau ancaman eksekusi. Jika tidak, maka patut diduga terjadi pengabaian terhadap prinsip perlindungan konsumen,” tegas Abdul Kabir.
LSM KPK Nusantara dan PPWI Banten mendorong agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap praktik penagihan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, guna memastikan seluruh proses berjalan sesuai hukum dan tidak merugikan masyarakat sebagai konsumen jasa keuangan.
(Red)
Sumber: tim

Posting Komentar